Jakarta, Koalisi Masyarakat Sipil menghadiri undangan rapat informal dari Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (8/4). Agenda pertemuan tersebut adalah untuk membahas berbagai catatan kritis terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang saat ini tengah dalam proses pembahasan legislatif.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengungkapkan bahwa dalam pertemuan itu, pihaknya menyoroti urgensi transparansi dalam proses legislasi. Ia menilai bahwa selama ini, beberapa pembahasan krusial dalam revisi RUU KUHAP terkesan dilakukan secara tertutup, bahkan cenderung diam-diam.
Dorongan untuk Transparansi dan Partisipasi Publik
Koalisi mendesak Komisi III agar membuka setiap tahapan pembahasan kepada publik secara sistematis. Isnur menekankan bahwa keterbukaan akan memastikan bahwa produk hukum yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan dan harapan masyarakat luas.
Menurut Isnur, percepatan proses pembahasan justru berisiko melahirkan pasal-pasal yang mengabaikan realitas sosial, seperti kasus penyiksaan dalam tahanan, penangkapan sewenang-wenang, hingga kematian tahanan tanpa kejelasan hukum.
Ia mengingatkan agar DPR tidak menetapkan target waktu penyelesaian RUU hanya demi memenuhi agenda politik semata. Menurutnya, kualitas dan legitimasi hukum jauh lebih penting ketimbang kecepatan proses legislasi.
Komisi III Dianggap Lebih Layak Menangani
Isnur juga menyampaikan keberatan terhadap rencana pelimpahan pembahasan RUU KUHAP ke Badan Legislasi (Baleg). Menurutnya, Komisi III lebih memahami konteks dan substansi permasalahan hukum pidana di lapangan karena sering menerima laporan langsung dari masyarakat, termasuk dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
Melalui kehadiran di forum informal ini, Koalisi Masyarakat Sipil mengingatkan bahwa pembentukan hukum pidana tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab etis dan sosial. RUU KUHAP harus menjawab realitas dan aspirasi rakyat, bukan sekadar menjadi dokumen normatif tanpa roh keadilan.