Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyoroti pasal 124 dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Pasal ini memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan, yang dinilai berpotensi disalahgunakan.
Sekretaris Jenderal PBHI, Gina Sabrina, mengungkapkan kekhawatiran terkait kewenangan tersebut. Menurutnya, selama ini penyadapan hanya dapat dilakukan dalam kasus tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang juga harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas sebelum melakukan penyadapan.
“Tentu kita punya masalah dalam hal penyadapan. Hari ini, penyadapan hanya boleh dilakukan dalam kasus korupsi dan itu pun harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK,” ujar Gina dalam diskusi publik bertajuk Masa Depan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang digelar secara daring pada Selasa (25/3).
Kekhawatiran Penyalahgunaan Kewenangan
Gina menegaskan bahwa pemberian kewenangan penyadapan kepada penyidik tanpa batasan yang jelas dapat berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Menurutnya, DPR perlu mengatur secara spesifik batasan dan mekanisme penyadapan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
“Harus ada limitasi yang jelas karena penyadapan adalah tindakan yang sangat intrusif. Jika tidak diatur dengan ketat, bisa ada potensi penyalahgunaan,” jelas Gina.
Berdasarkan draf RUU KUHAP, Pasal 124 ayat (1) menyebutkan bahwa penyidik, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan penyidik tertentu memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan demi kepentingan penyidikan. Namun, pada ayat (2) disebutkan bahwa penyadapan harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri terlebih dahulu.
Yang menjadi sorotan utama adalah ayat (3) dalam pasal yang sama. Ayat ini menyebutkan bahwa dalam keadaan mendesak, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin dari ketua pengadilan negeri. Ketentuan ini dinilai membuka celah bagi penyalahgunaan kewenangan.
Desakan untuk Pengawasan Ketat
PBHI menekankan bahwa pengawasan ketat terhadap kewenangan penyadapan sangat diperlukan. Sebab, penyadapan yang tidak terkendali dapat digunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum, seperti kepentingan politik atau pembungkaman kritik terhadap pemerintah.
“Kita harus memastikan bahwa penyadapan benar-benar digunakan untuk kepentingan hukum dan bukan untuk kepentingan lain. Oleh karena itu, aturan mainnya harus jelas, termasuk mekanisme pengawasan dan akuntabilitasnya,” tambah Gina.
PBHI berharap DPR dan pemerintah membuka ruang diskusi yang lebih luas dengan berbagai elemen masyarakat sebelum mengesahkan RUU KUHAP. Keterlibatan akademisi, pakar hukum, serta organisasi masyarakat sipil dalam pembahasan regulasi ini sangat diperlukan agar tidak ada pasal yang berpotensi mengancam kebebasan sipil.
Selain itu, Gina juga mengingatkan bahwa aturan penyadapan dalam RUU KUHAP harus selaras dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam konstitusi dan hukum internasional.
Kesimpulan
Polemik terkait kewenangan penyadapan dalam RUU KUHAP menjadi perhatian serius berbagai pihak, termasuk PBHI. Tanpa aturan yang jelas dan pengawasan ketat, penyadapan dapat menjadi alat yang disalahgunakan dan berpotensi mengancam hak privasi serta kebebasan masyarakat.
DPR dan pemerintah didorong untuk memastikan bahwa setiap pasal dalam RUU KUHAP, khususnya yang terkait dengan penyadapan, tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan perlindungan HAM. Dengan demikian, sistem peradilan pidana di Indonesia dapat berjalan transparan, akuntabel, dan tetap menjunjung tinggi hak-hak warga negara.