Jakarta, Mabes TNI Angkatan Darat (AD) membantah tegas tudingan adanya intervensi dalam kegiatan diskusi yang diadakan oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, Jawa Tengah. Penjelasan ini disampaikan oleh Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, menyusul pemberitaan dan video yang beredar luas di media sosial.

Wahyu menjelaskan bahwa kehadiran Babinsa dari Koramil Ngaliyan, Sertu Rokiman, murni merupakan bagian dari tugas kewilayahan. “Babinsa hadir di sekitar kampus hanya untuk melakukan monitoring wilayah karena sebelumnya tersebar undangan diskusi yang bersifat terbuka untuk umum,” kata Wahyu melalui keterangan tertulis. Ia menegaskan, tugas tersebut sejalan dengan kewenangan Babinsa dalam menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan binaan.

Menurut Wahyu, Rokiman hanya berada di depan kampus dan tidak memasuki area kegiatan diskusi. Ia juga memastikan tidak ada instruksi atau upaya apa pun dari pihak TNI AD untuk menghentikan jalannya acara tersebut. “Babinsa juga tidak pernah memanggil mahasiswa keluar kampus. Tugasnya dijalankan sesuai prosedur dan tidak menyentuh substansi kegiatan akademik,” imbuhnya.

Menanggapi video viral yang menyebut keberadaan intelijen, Wahyu menegaskan bahwa individu dalam video tersebut bukanlah anggota TNI. Ia menambahkan, satu-satunya perwakilan TNI yang hadir adalah Babinsa, dan hanya satu orang.

TNI AD, kata Wahyu, tetap menjunjung tinggi prinsip kebebasan akademik di lingkungan kampus. “Kami tidak memiliki kepentingan untuk ikut campur dalam kegiatan internal perguruan tinggi. TNI justru berkomitmen menjaga sinergi dengan civitas akademika demi terciptanya suasana yang aman dan kondusif,” ujarnya.

Namun, mahasiswa UIN Walisongo yang tergabung dalam Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) menilai kehadiran aparat dan orang tak dikenal telah menciptakan rasa tidak nyaman. Dalam diskusi bertema “Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik”, mahasiswa mencurigai sosok yang menolak memperkenalkan diri dan hanya menyebut nama “Ukem”.

Baca juga :  Jelang Pengesahan, DPR dan Pemerintah Masih Bahas Perubahan RUU TNI

“Wajahnya terlihat jauh lebih tua dari kami, tapi dia tidak mau menjelaskan identitasnya. Ini membuat kami curiga,” ujar Abdul (nama samaran), salah satu peserta diskusi.

Kekhawatiran mahasiswa semakin meningkat saat beredar informasi bahwa peserta diskusi dituduh dalam keadaan mabuk. Abdul membantah keras tudingan tersebut. “Kami baru saja selesai kuliah, tidak ada yang mabuk. Tuduhan ini sangat tidak berdasar dan justru mengancam ruang kebebasan akademik,” katanya.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai batas antara pengawasan keamanan dan potensi tekanan terhadap kegiatan akademik. Para pengamat hak sipil mendorong dialog terbuka antara TNI dan dunia pendidikan agar prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi tetap terjaga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *