Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah mempertimbangkan opsi pemberlakuan ambang batas maksimal atau batas atas dalam syarat pencalonan presiden. Langkah ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus aturan ambang batas minimal 20 persen yang selama ini menjadi syarat partai politik untuk mengusung calon presiden.

Wacana batas atas tersebut mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR bersama sejumlah pakar dan organisasi pemerhati pemilu pada Rabu (26/2). Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, menegaskan perlunya batas atas untuk mencegah munculnya calon tunggal yang bisa mengancam prinsip demokrasi.

“Tidak hanya batas bawah, tetapi batas atas juga perlu dipertimbangkan agar tidak ada konsolidasi politik yang memunculkan calon tunggal secara tidak alami,” ujar Aria Bima di kompleks parlemen.

Mengapa Batas Atas Penting?

Dalam pernyataannya, Aria Bima menyampaikan kekhawatiran bahwa tanpa adanya batas atas, kekuatan politik tertentu bisa mengonsolidasikan seluruh partai dan menciptakan calon tunggal. Menurutnya, koalisi besar seharusnya terbentuk secara organik berdasarkan kesamaan visi, bukan sebagai alat untuk menjegal calon lain.

“Masalahnya adalah ketika koalisi besar tidak organik, melainkan dibentuk secara konspiratif demi memperlemah demokrasi,” tambah Bima.

Konsep batas atas ini juga mendapatkan dukungan dari pemerhati pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini. Ia mengusulkan ambang batas maksimal sebesar 40-50 persen dari gabungan kursi atau suara partai politik sebagai cara menghindari dominasi kekuatan tertentu.

“Ambang batas maksimal bertujuan mencegah dominasi politik tertentu dan calon tunggal, baik di pemilihan presiden maupun kepala daerah,” kata Titi.

Latar Belakang Keputusan MK

Usulan ini lahir setelah MK melalui putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menghapus ambang batas minimal 20 persen untuk pencalonan presiden dan kepala daerah. Keputusan tersebut mengubah aturan lama, memungkinkan partai politik atau gabungan partai yang meraih suara sah minimal 7,5 persen di tingkat provinsi untuk mengajukan calon kepala daerah.

Baca juga :  SRIKANDI PLN UPT SEMARANG Tanam Pohon Untuk Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai di Sukodadi, Kendal

Meski menghapus batas bawah, MK tetap menekankan perlunya rekayasa konstitusional agar jumlah calon presiden tidak membeludak. Oleh sebab itu, muncul gagasan ambang batas maksimal untuk menjaga keseimbangan politik.

Tantangan dan Prospek

Wacana ambang batas maksimal tentu memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, batas atas dianggap mampu mencegah dominasi satu kekuatan politik. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa aturan ini bisa membatasi ruang gerak partai kecil untuk membangun koalisi besar.

Namun, penting untuk memastikan bahwa aturan ini bertujuan memperkuat demokrasi. Jika diberlakukan, batas atas harus disusun secara transparan, melibatkan partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil.

Dengan demikian, aturan pencalonan presiden yang baru diharapkan menjadi solusi demi menjaga keberagaman politik dan menghindari dominasi satu pihak. DPR dan para pemangku kepentingan perlu merancang kebijakan ini dengan prinsip demokrasi yang kuat agar tercipta pemilu yang adil dan sehat.

Kesimpulan

Langkah DPR untuk mempertimbangkan ambang batas maksimal dalam pencalonan presiden menjadi salah satu cara untuk menjaga keseimbangan politik. Wacana ini harus dikaji secara mendalam dengan melibatkan berbagai pihak, memastikan bahwa demokrasi tetap menjadi pondasi utama dalam setiap kebijakan.

Dengan adanya aturan yang adil dan transparan, harapannya pemilu ke depan bisa menghadirkan lebih banyak pilihan bagi rakyat dan mencegah potensi calon tunggal yang merugikan prinsip demokrasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *