Jakarta, Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, kembali mengajukan gugatan praperadilan terkait penetapan statusnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Gugatan tersebut resmi didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Rabu (12/3) dengan nomor registrasi 42/Pid.Pra/2025/PNJKT.SEL.
Pihak tergugat dalam gugatan ini adalah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto. Langkah hukum ini merupakan upaya Firli Bahuri untuk memperjuangkan keadilan atas status tersangka yang disandangnya selama lebih dari satu tahun.
Kuasa hukum Firli, Ian Iskandar, membenarkan pengajuan gugatan praperadilan tersebut. “Iya betul, kembali ajukan gugatan praperadilan,” kata Ian melalui pesan singkat pada Jumat (14/3). Ia menegaskan bahwa praperadilan ini adalah wujud dari perjuangan hukum Firli untuk mengoreksi proses penyidikan yang dianggapnya tidak adil.
“Upaya hukum praperadilan ini bagian dari ikhtiar Pak Firli dalam memperjuangkan keadilan beliau terkait status tersangka selama 1 tahun 4 bulan lebih. Ada proses kezaliman yang dia alami dengan tegar dan sabar,” tambah Ian.
Latar Belakang Kasus
Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya pada 22 November 2023. Ia diduga melakukan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo dan dijerat dengan Pasal 12 e dan/atau Pasal 12 B dan/atau Pasal 11 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 65 KUHP. Ancaman hukumannya maksimal penjara seumur hidup.
Meski telah berstatus tersangka selama lebih dari satu tahun, proses penyidikan terhadap Firli tampak jalan di tempat. Berkas perkara dua kali dikirimkan penyidik Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, namun dua kali pula dikembalikan karena dinilai belum lengkap.
Kritik atas Lambannya Proses Hukum
Kondisi ini menuai sorotan publik dan berbagai pihak yang mempertanyakan lambannya proses hukum yang dijalani Firli. Beberapa pengamat hukum menilai bahwa proses hukum yang berlarut-larut dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Prinsip keadilan dan transparansi menjadi isu utama dalam kasus ini.