Langkah Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang memerintahkan pengerahan prajurit TNI ke kantor Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri se-Indonesia menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Meski sebagian pihak mendukung langkah ini sebagai bentuk kolaborasi keamanan, namun tak sedikit pula yang menilai kebijakan ini justru bertentangan dengan semangat reformasi sektor keamanan dan hukum.
Asal-Usul Kebijakan Pengamanan
Kebijakan ini disebut merupakan tindak lanjut dari kerja sama antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kejaksaan Agung dalam rangka mendukung pengamanan kantor kejaksaan di tengah meningkatnya ancaman terhadap penegak hukum. Dalam beberapa kasus, jaksa diketahui mendapat ancaman atau intimidasi saat menangani kasus besar seperti korupsi atau kejahatan terorganisir.
Pemerintah menilai bahwa kehadiran prajurit TNI dapat memberikan efek jera terhadap oknum yang berniat mengganggu jalannya proses hukum. Namun, landasan hukum dan urgensi dari pengerahan ini menjadi pertanyaan utama yang dilontarkan oleh banyak pihak.
Reaksi Koalisi Masyarakat Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dengan tegas menolak kebijakan tersebut. Ardi Manto, Direktur Imparsial, menyatakan bahwa pengerahan TNI dalam konteks pengamanan kejaksaan telah melampaui batas fungsi TNI yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Menurut Ardi, “Tugas TNI adalah menjaga pertahanan negara dari ancaman militer dan bukan menangani isu keamanan sipil seperti pengamanan kantor kejaksaan. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip pemisahan militer dan sipil.”
MoU yang Diperdebatkan
TNI menyatakan bahwa pengerahan ini merujuk pada Nota Kesepahaman (MoU) antara institusinya dengan Kejaksaan. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa MoU tidak bisa dijadikan dasar hukum yang sah, apalagi sampai dijadikan justifikasi untuk pengerahan pasukan.
Dalam sistem hukum Indonesia, pengerahan TNI untuk kegiatan selain perang harus berada di bawah kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang pelaksanaannya memerlukan Peraturan Presiden dan persetujuan DPR. Tanpa dasar itu, kebijakan ini dianggap cacat hukum.
Apakah Ada Ancaman Riil?
Salah satu argumen pro terhadap pengerahan TNI adalah meningkatnya risiko ancaman terhadap institusi hukum seperti Kejaksaan. Namun, para pengkritik mempertanyakan apakah kondisi ancaman saat ini cukup serius hingga membutuhkan pengamanan militer.
Menurut Ardi, “Jika tidak ada ancaman keamanan yang nyata dan ekstrem, maka pengamanan cukup dilakukan oleh satuan pengamanan internal atau bekerja sama dengan Polri. Tidak perlu melibatkan militer yang memiliki fungsi berbeda.”
Potensi Ancaman terhadap Supremasi Sipil
Kehadiran militer dalam kehidupan sipil selalu menjadi isu sensitif, terutama dalam konteks sejarah Indonesia yang pernah dikuasai oleh rezim militer. Sejak reformasi 1998, salah satu pencapaian penting adalah menegakkan supremasi sipil atas militer. Pengerahan TNI ke ranah hukum bisa dianggap sebagai langkah mundur dari prinsip tersebut.
Para akademisi dan pengamat menyampaikan kekhawatiran bahwa keputusan ini bisa menjadi preseden buruk. Bila dibiarkan, dikhawatirkan ke depannya militer akan semakin terlibat dalam berbagai urusan sipil, yang sejatinya bukan bagian dari tugas pokok mereka.
Transparansi dan Partisipasi Publik
Kritik lain yang muncul adalah minimnya transparansi dalam pengambilan kebijakan ini. Tidak ada diskusi publik, pembahasan di parlemen, ataupun pengumuman resmi yang menjelaskan alasan, prosedur, serta kerangka hukum kebijakan tersebut.
Dalam negara demokrasi, keterlibatan publik dalam kebijakan yang menyangkut institusi militer dan penegakan hukum sangat krusial. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan memastikan bahwa negara tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
Langkah-Langkah Korektif yang Diperlukan
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah dan Panglima TNI untuk segera meninjau kembali kebijakan ini. Evaluasi harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek hukum, demokrasi, serta keamanan.
Jika ditemukan bahwa langkah ini memang tidak memiliki dasar hukum yang kuat, maka pengerahan TNI harus segera dihentikan. Di sisi lain, jika memang diperlukan bentuk bantuan dari TNI dalam kondisi darurat, maka harus dibuat aturan yang jelas dan melibatkan parlemen.
Pengerahan TNI ke kantor kejaksaan adalah isu kompleks yang melibatkan berbagai aspek—dari hukum, keamanan, hingga demokrasi. Meski bertujuan baik, kebijakan ini telah memicu kekhawatiran luas tentang pelanggaran prinsip supremasi sipil dan potensi kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil.
Diperlukan kebijakan yang matang, transparan, dan partisipatif agar langkah pemerintah benar-benar sesuai dengan semangat reformasi. Demokrasi yang sehat hanya dapat tercapai jika peran setiap institusi negara berjalan sesuai fungsinya, tanpa tumpang tindih dan tanpa penyalahgunaan wewenang.