Jakarta, Kasus dugaan suap dalam vonis bebas Gregorius Ronald Tannur terus mengungkap fakta-fakta mengejutkan. Salah satu sorotan utama adalah pengakuan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Mangapul, terkait pesan yang disampaikan oleh mantan Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono.
Pesan Terselubung di Balik Vonis Bebas
Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (3/3), Mangapul membeberkan adanya pesan dari Rudi Suparmono agar dirinya tidak dilupakan dalam pembagian uang terkait putusan bebas Ronald Tannur. Pesan tersebut disampaikan secara tersirat, dengan kalimat “jangan lupa aku” saat membahas uang terima kasih.
Hakim Mangapul mengakui bahwa uang sebesar Sin$140.000 diterima dari pihak Ronald Tannur sebagai bentuk apresiasi atas vonis bebas tersebut. Dari jumlah tersebut, Sin$20.000 disisihkan untuk Rudi, sementara Sin$10.000 diberikan kepada panitera pengganti. Sisanya dibagi di antara tiga hakim, yaitu Mangapul, Heru Hanindyo, dan Erintuah Damanik.
Dugaan Suap dan Gratifikasi
Kasus ini melibatkan tiga hakim PN Surabaya, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, yang didakwa menerima suap senilai Rp1 miliar dan Sin$308.000. Total dugaan suap yang diterima diperkirakan mencapai Rp4,3 miliar.
Lebih lanjut, persidangan juga mengungkap adanya gratifikasi yang diterima oleh para hakim. Erintuah disebut menerima gratifikasi berupa uang dalam berbagai mata uang asing, termasuk Sin$32.000 dan RM35.992,25. Sementara itu, Heru diketahui menyimpan gratifikasi berupa Yen, Euro, dan Riyal Saudi di Safe Deposit Box (SDB) miliknya.
Implikasi Hukum dan Etika
Meski PN Surabaya memutus bebas Ronald Tannur, Mahkamah Agung (MA) kemudian membatalkan putusan tersebut dalam tingkat kasasi. Ronald akhirnya divonis lima tahun penjara. Ketua majelis kasasi Soesilo bahkan mengajukan dissenting opinion, menganggap Ronald seharusnya dibebaskan.
Membangun Kepercayaan Publik
Kasus ini menjadi pengingat bagi seluruh elemen hukum untuk terus menjaga kredibilitas dan profesionalitas. Kepercayaan publik terhadap institusi hukum harus dikembalikan melalui penegakan hukum yang adil dan transparan. Keterlibatan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, dan nama-nama besar lain dalam kasus ini semakin mendorong pentingnya reformasi di tubuh peradilan.
Apakah kasus ini akan menjadi titik balik bagi peradilan Indonesia? Hanya waktu yang bisa menjawab.