Jakarta, Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyatakan bahwa kewajiban pembayaran uang pengganti sebesar Rp4,57 triliun dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang melibatkan mantan Dirut PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta, dapat dialihkan kepada ahli warisnya.

Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, kepada awak media di Jakarta, Rabu (30/4). Ia menjelaskan bahwa meskipun status hukum Suparta sebagai terdakwa telah gugur akibat meninggal dunia, tanggung jawab pengembalian kerugian negara tetap berlaku.

“Status pidana memang gugur karena terdakwa telah meninggal. Namun, pengadilan telah menjatuhkan vonis terkait uang pengganti, dan sesuai ketentuan, itu tetap harus dibayar,” ujar Harli.

Dasar Hukum Gugatan ke Ahli Waris

Kejaksaan akan menindaklanjuti kasus ini melalui jalur perdata dengan melibatkan Jaksa Pengacara Negara (JPN). Harli menyebutkan bahwa proses ini merujuk pada Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Jaksa Penuntut Umum akan menyerahkan berita acara persidangan ke JPN agar gugatan perdata bisa diajukan. Tujuannya jelas: pengembalian kerugian negara,” tegas Harli, menegaskan posisi hukum institusinya.

Meskipun secara prosedural langkah gugatan kepada ahli waris memungkinkan, Kejagung masih dalam tahap pembahasan internal mengenai langkah selanjutnya. Harli menyebut bahwa proses ini memerlukan pertimbangan matang dari tim penuntut umum.

Latar Belakang Kasus dan Vonis Berat

Suparta menjadi salah satu terdakwa utama dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk selama periode 2015 hingga 2022. Kasus ini menyeret banyak pihak dan mengakibatkan kerugian negara yang fantastis, yakni mencapai Rp300,003 triliun, menurut perhitungan resmi.

Suparta dijatuhi hukuman penjara selama 19 tahun oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, setelah sebelumnya hanya divonis 8 tahun oleh pengadilan tingkat pertama. Selain itu, ia diwajibkan membayar denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp4,57 triliun subsider 10 tahun penjara.

Baca juga :  Peluang Pertemuan Prabowo-Megawati Sebelum atau Sesudah Kongres PDIP

Namun, Suparta meninggal dunia pada Senin, 28 April 2025, saat menjalani masa tahanan di Lapas Cibinong, Jawa Barat. Ia sempat dilarikan ke RSUD Cibinong karena kondisi kesehatan yang menurun drastis.

Implikasi Hukum dan Dampaknya

Pengalihan tanggung jawab kepada ahli waris menimbulkan diskursus baru dalam praktik penegakan hukum tindak pidana korupsi. Di satu sisi, langkah ini menunjukkan keseriusan negara dalam menagih kerugian, namun di sisi lain memunculkan tantangan dalam aspek pembuktian dan eksekusi perdata terhadap warisan.

Kejaksaan sebagai institusi resmi negara memiliki otoritas dan keahlian hukum dalam menegakkan aturan yang berlaku. Pernyataan Kapuspenkum mencerminkan pengalaman dan kredibilitas Kejagung dalam menangani kasus-kasus korupsi besar, khususnya yang melibatkan kerugian negara dalam jumlah triliunan rupiah.

Langkah hukum lanjutan terhadap ahli waris Suparta menjadi perhatian publik, sekaligus ujian bagi sistem hukum Indonesia untuk menunjukkan akuntabilitas dan integritas dalam upaya pemberantasan korupsi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *